Minggu, 01 Juli 2012

Arti Kata Khuluq atau Akhlaq Bagian Kedua






Dan sudah barang tentu keindahan bentuk lahiriah tak mungkin terwujud dengan keindahan bentuk kedua mata saja, misalnya, tanpa keindahan bentuk hidung, mulut dan pipi. Tetapi hanya dengan keindahan semua itu, secara keseluruhan, akan terwujud keindahan lahiriah seseorang secara sempurna.

Demikian pula yang berkaitan dengan bathin seseorang. Diperlukan adanya empat hal potensial yang kesemuanya harus dalam keadaan baik, sehingga dengannya akhlak baik seseorang dapat menjadi sempurna.

Keempat hal potensial ini adalah: kemampuan dasar atau kekuatan pengetahuan, kekuatan emosi (ghadhab), kekuatan ambisi (syahwat) dan kekuatan yang menyeimbangkan antara ketiga potensi tersebut.

Maka apabila keempat hal potensial ini ada pada disi seseorang, secara seimbang dan serasi, dapatlah ia dikatakan bahwa ia memiliki akhlak atau perangai yang baik.

Dengan demikian, kemampuan atau kekuatan pengetahuan akan menjadi baik dan sempurna bagi seseorang, apabila hal itu mampu memudahkan baginya untuk membedakan antara ketulusan dan kebohongan dalam hal ucapan, antara yang haq dan yang batil dalam hal kepercayaan (i’tiqad) dan antara yang baik dan yang buruk dalam hal perbuatan.

Maka jika kekuatan ini dalam keadaan sempurna, niscaya akan membuahkan hikmah (kearifan). Sebab, hikmah adalah puncak dari akhlak yang baik. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:

“Wa man yu’ tal khikmata faqad uutiya khairan katsiiran.”

Artinya: “...Dan barangsiapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberikan kebaikan yang amat banyak.” (Al-Baqarah: 269).

Adapun kekuatan emosi (ghadhab) maka ia menjadi baik apabila tetap berada didalam batas yang dibenarkan oleh hikmah, baik dalam keadaan emosi itu sedang memuncak ataupun mereda.

Demikian pula kekuatan ambisi (syahwat); ia menjadi baik dan berguna, selama ia berada dibawah pengarahan hikmah. Atau dengan kata lain, di bawah pengarahan akal dan syari’at.

Sedangkan yang dimaksud dengan kekuatan keseimbangan adalah dikendalikannya ambisi dan emosi oleh akal dan syariat. Akal dapat diumpamakan sebagai seorang pemberi nasehat dan arahan.

Sedangkan kekuatan keseimbangan adalah sesuatu yang mampu bertindak dan yang melaksanakan apa yang diarahkan atau diperintahkan oleh akal. Adapun emosi adalah obyek yang kepadanya perintah tersebut ditujukan.

Ia dapat diumpamakan sebagai anjing berburu, yang perlu dilatih sedemikian rupa, sehingga melakukan pengejaran atau berhenti sesuai dengan yang diperintahkan, dan bukannya sesuai dengan keinginan hawa nafsunya sendiri.

Sedangkan kekuatan ambisi dapat diumpamakan sebagai seekor kuda yang ditunggangi dalam suatu perburuan; adakalanya ia telah terlatih baik dan jinak, dan adakalanya ia bersifat liar dan tak terkendali.

Barangsiapa memiliki semua sifat ini dalam keadaan sedang, moderat, dan seimbang, maka ia – tak diragukan lagi – adalah seorang yang berakhlak sempurna.

Dan barangsiapa memiliki sebagiannya saja – bukan semuanya – dalam keadaan sedang dan seimbang, maka ia dapat dianggap berakhlak baik dalam kaitannya dengan sifat tersebut secara khusus. Sama halnya seperti seseorang yang memiliki keindahan pada bagian – bagian tertentu saja dari wajahnya, bukan pada wajahnya secara keseluruhan.

Adakalanya kebaikan dan sifat ‘sedang’ dan moderat dalam kekuatan emosianal (kemarahan atau ghadhabiyah) disebut “keberanian”, sedangkan kebaikan dalam kekuatan ambisi (hawa nafsu, syahwat) disebut ‘iffah (penahan nafsu dari perbuatan tercela).

Dan manakala kekuatan emosianal dari sifat moderatnya dan lebih cenderung kearah yang ekstrem atau berlebihan, hal itu disebut “kenekatan”. Sebaliknya, jika ia lebih cenderung ke arah kekurangan, maka hal itu disebut “kepengecutan”.

Dan jika kekuatan ambisi (syahwat, hasrat) lebih cenderung ke arah berlebihan, maka hal itu disebut “kerakusan”, sedangkan jika ia lebih cenderung ke arah kekurangan, maka hal itu disebut ”kebekuan” atau “ke-jumud-an”.

Adapun yang paling dipujikan adalah keadaan “tengah-tengah”, dan itulah yang disebut fadhilah (kebajikan). Sedangkan kedua ujung yang ekstrem adalah keburukan yang tercela.

Dan jika sifat keseimbangan (ke-adil-an) telah hilang, maka tak ada lagi ujung yang berlebihan ataupun yang berkekurangan. Yang ada hanyalah sifat yang sama sekali berlawanan dengannya, yaitu kedzaliman.

Adapun jika sifat hikmah digunakan secara gegabah dan berlebihan dalam tujuan-tujuan yang buruk, hal itu disebut perbuatan dosa dan kejahatan, sedangkan jika digunakan secara berkurangan, maka hal itu disebut kedunguan. Dan pada hakekatnya, posisi yang tengah-tengah itulah yang layak dan khusus disebut hikmah.



(Sumber Rujukan: Tahdzib Al-Akhlaq Wa Mu'alajat Amradh Al-qulub).

0 komentar:

Posting Komentar