This is default featured slide 1 title

This picture is a picture of SMA PESAT let's join now! and do not forget to see the other article the article only in "http://saifulpesat.blogspot.com", thanks: D in waiting his arrival, and do not forget to follow me :)

This is default featured slide 2 title

This picture is a picture of SMA PESAT let's join now! and do not forget to see the other article the article only in "http://saifulpesat.blogspot.com", thanks: D in waiting his arrival, and do not forget to follow me :)

This is default featured slide 3 title

"TAHAJUD" .This picture is a picture of SMA PESAT let's join now! and do not forget to see the other article the article only in "http://saifulpesat.blogspot.com", thanks: D in waiting his arrival, and do not forget to follow me :)

This is default featured slide 4 title

This picture is a picture of SMA PESAT let's join now! and do not forget to see the other article the article only in "http://saifulpesat.blogspot.com", thanks: D in waiting his arrival, and do not forget to follow me :)

This is default featured slide 5 title

"Dengan Akhlak Mulia dan ilmu Pengetahuan Menuju ALLAH S.W.T" .This picture is a picture of SMA PESAT let's join now! and do not forget to see the other article the article only in "http://saifulpesat.blogspot.com", thanks: D in waiting his arrival, and do not forget to follow me :)

Minggu, 01 Juli 2012

Akhlaq Yang Baik VS Akhlaq Yang Buruk





Allah SWT telah berfirman kepada nabi-Nya dan kekasih-Nya (Muhammad saw.) seraya memujinya dan menunjukkan karunia-Nya atas diri-Nya:

"Wa innaka la 'alaa khuluuqin 'adziim."

artinya: ...dan sesungguhnya engkau benar-benar berakhlaq agung. (Al-Qalam: 4).

Aisyah r.a. menyatakan bahwa "akhlaq Rasulullah saw adalah Al-Qur'an." Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw, tentang akhlaq yang baik, maka beliau membacakan kepadanya firman Allah SWT:

"Jadilah engkau seorang pema'af, suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf dan berpalinglah dari orang-orang jahil." (Al-A'raf: 199).

Kemudian beliau menambahkan:

"huwa an tashila man qatha'aka wa tu'thiya man kharamaka wa ta'fuwa 'amman dzalamaka."

Artinya: “Itu dapat terwujud dengan tetap memelihara tali silaturrahim terhadap siapa yang memutuskannya terhadapmu, memberi siapa yang menahan pemberiannya kepadamu dan mema'afkan siapa yang telah melakukan kezaliman terhadapmu."

Rasulullah saw. juga pernah bersabda:

"Innamaa bu'its-tu li utammima makaarimal-akhlaaqi."

Artinya: "Sesungguhnya aku hanyalah di utus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia."

Sabda beliau lagi:

"Atsqaalu maa yuudla'u fil miizaani yaumal qiyaamati taqwallaahi wa khusnul khuluuqi"

Artinya: “Timbangan yang paling berat dari apa yang di letakkan di atas neraca Hari Kiamat kelak, adalah taqwa kepada Allah dan akhlaq yang baik."

Seorang laki-laki pernah datang menghadap Rasulullah saw. dan berkata: "Ya Rasulallah, apa sesungguhnya agama itu?" Maka beliau menjawab: "Akhlaq yang baik." Orang itu mendatangi beliau lagi, kini dari arah kanan beliau, dan bertanya:  "Ya Rasulallah apa sesungguhnya agama itu?" Maka beliau menjawab: "Akhlaq yang baik."

Namun orang itu mendatangi beliau lagi, kini dari arah kiri beliau, dan bertanya: "Ya Rasulallah apa sesungguhnya agama itu?" Beliaupun menjawab lagi: "Akhlaq yang baik." Orang itu mendatangi beliau lagi, kini dari arah belakang, seraya bertanya: "Ya Rasulallah, apa sesungguhnya agama itu?" Maka beliau menoleh kepadanya dan bersabda: "Tidakkah kau mengerti? Itu adalah dengan upayamu untuk tidak marah."

Rasulullah saw, juga pernah di tanya: "Apakah kesialan itu Ya, Rusulallah?" Maka beliau menjawab: "Akhlaq yang buruk!"

Di riwayatkan pula bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw.: "Berilah aku nasehat." Maka beliaupun mengatakan kepadanya: "Bertaqwalah kepada Allah, di manapun engkau berada." Orang itu berkata lagi: "Tambahkanlah untukku." Sabda beliau: "Ikutilah perbuatan burukmu (yang terlanjur kau kerjakan) dengan suatu perbuatan baik, sehingga (dengan perbuatan itu) engkau dapat menghapusnya."

Orang itu berkata lagi: "Tambahkanlah untukku." Maka sabda beliau pula: "Bergaullah dengan manusia dengan akhlaq yang baik."

Rasulullah saw, juga pernah di tanya: "Amalan apakah yang paling utama?" Jawab beliau: "Akhlaq yang baik."

Pernah pula beliau bersabda:

"Man khassanallaahu  khalqa 'abdin wa khuluqahu fa yuth'imuhunnaara"

Artinya: “Allah SWT takkan membaikkan tubuh dan akhlaq seseorang kemudian menjadikannya umpan bagi api neraka."

Al-fudhail meriwayatkan bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah saw.: "Ada seorang perempuan yang berpuasa di siang hari dan bertahajud di malam hari, sementara akhlaqnya buruk. Ia mengganggu para tetangganya dengan ucapan lidahnya."

Maka Rasulullah bersabda: "Laa khaira fiihaa min ahlin-naari."

Artinya: "Tak sedikitpun kebaikan ada padanya. Ia adalah penghuni neraka."

Abu Darda' berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda:

"Awwalu maa yuudla'u fil miizaani khusnul khuluqi wassakhaau'."

Artinya: "Sesuatu yang pertama kali akan di letakkan di atas mizan (neraca amalan manusia pada Hari Kiamat) adalah akhlaq yang baik dan kedermawanan."

Dan ketika Allah SWT menciptakan keimanan, ia berkata: "Ya Allah, kuatkanlah aku. "Maka Allah menguatkannya dengan akhlaq yang baik serta kedermawanan. Dan ketika Allah menciptakan kekufuran, ia berkata: "Ya Allah, kuatkanlah aku." Maka Allah menguatkannya dengan kebakhilan dan akhlaq yang buruk.

Rasulullah saw. juga pernah bersabda:

"Innallaahas takhlasha haadzaddiina linafsihi wa laa yashlukhu lidiinikum ilash shakhaau wa khusnul khuluqi alaa fazayyinuu diinakum bihimaa."

Artinya: "Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi diri-Nya, dan tak ada sesuatu yang layak bagi agama kalian ini selain kedermawanan dan akhlaq yang baik. Karena itu perindahlah agama kalian dengan kedua-duanya."

Sabda beliau pula:

"Khusnul khuluqi khalqullaahil a'dhamu."

Artinya: "Akhlaq yang baik adalah cipta'an Allah SWT yang teragung."

Pernah di tanyakan kepada Rasulullah saw.: "Siapakah yang paling utama di antara kaum mukmin?" Jawab beliau: "Yang paling baik akhlaqnya di antara mereka."

Sabda beliau pula:

"Innakum lan tas'awun naasa bi amwaalikum fasa 'uuhum bibastil wajhi wa khusnil khuluqi."

Artinya: "Sungguh kalian takkan mampu memuaskan manusia semuanya dengan harta kalian, maka puaskanlah mereka dengan wajah yang cerah dan akhlaq yang baik."

Sabda beliau pula:

"Suu-ul khuluqi yufsidul 'amala kamaa yufsidul-khallul 'asala."

Artinya: "Akhlaq yang buruk merusak amalan yang baik seperti halnya cuka merusak madu."

Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

"Innakamru-un qad khasanallaahu khalqaka fakhassin khuluqak." artinya:

"Sungguh engkau adalah seorang yang di beri Allah bentuk tubuh yang baik, maka baikkanlah pula akhlaqmu."

Al-Bara' bin 'Azib berkata bahwa "Sesungguhnya Rasulullah saw. adalah seorang yang paling tampan wajahnya dan paling baik akhlaqnya, di antara semua manusia."

Di riwayatkan dari Abu Mas'ud Al-Badriy, katanya: Rasulullah saw. biasa mengucapkan dalam do'anya:

"Allaahumma khassanta khalqii fakhassin khuluqii."

Artinya: "Ya Allah telah Engkau beri aku tubuh yang baik, maka baikkanlah pula akhlaqku."

Di riwayatkan pula dari Abdullah bin 'Amr, katanya: "Telah menjadi kebiasaan Rasulullah saw. memperbanyak do'a, di antaranya:

 "Allaahumma innii as 'alukas shikhkhata wal 'aafiyata wa khusnal khuluqi."

Artinya: "Ya Allah aku memohon dari-Mu kesehatan dan keselamatan, serta kebaikan akhlaq."

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. telah bersabda:

"Karamul mu'mini dinuhu wa khasabuhu khusnu khuluqihi wa muruu atuhu 'aqluhu."

Artinya: "Kemuliaan dari seorang mukmin adalah agamanya, sedangkan ketinggian derajatnya adalah dalam kebaikan akhlaqnya., kekesatriaannya, dan kelurusan akalnya."

Dari Usamah bin Syuraik, katanya: "Aku pernah menyaksikan sekelompok A'rab (orang-orang Arab Badui) bertanya kepada Rasulullah saw.: "Apakah anugrah Allah terbaik yang dapat di peroleh seseorang?" Jawab beliau: "Akhlaq yang baik."

Sabda beliau pula:

"Inna akhabbakum ilayya wa aqrabakum minnii majlisan yaumal qiyaamati akhaasinukumakhlaaqaa."

Artinya: "Sesungguhnya yang paling ku cintaidi antara kamu dan paling dekat tempat duduknya denganku, pada Hari Kiamat, adalah yang paling baik akhlaqnya."

Di riwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

"Tsalaatsun man lam takun fiihi aw waakhidatun minhunna falaa ta'tadduu bisyai-in  min 'amaalihi taqwan talhjizuhu 'an ma'aashillaahi aw khilmun yakuffu bihis safiiha aw khuluqun ya'iisyu bihi baynan naasi."

Artinya: "Ada tiga hal yang apabila tak di jumpai dalam diri seseorang ketiga-tiganya atau salah satu di antaranya maka janganlah kalian merasa kagum akan sesuatu dari amalannya.

Ketiga hal itu adalah: ketaqwaan yang menghalanginya dari perbuatan pembangkangan (maksiat) kepada Allah, sifat santun yang dengannya ia menghadapi ulah seseorang yang berbudi rendah, dan akhlaq yang baik yang dengannya ia bergaul dengan manusia."

Dan di antara do'a-do'a Rasulullah saw. dalah shalat beliau:

 "Allaahummahdinii li akhsanil akhlaaqi laa yahdii li akhsanihaa illaa anta washrif 'annii sayyi-ahaa la yashrifu 'annii sayyi-ahaa illaa anta."

Artinya: "Ya Allah arahkanlah diriku kepada akhlaq yang baik, sebab tak ada yang dapat mengarahkan daku kepadanya selain Engkau. Dan jauhkanlah aku dari akhlaq yang buruk, sebab tak ada yang dapat menjauhkan aku dari akhlaq yang buruk, sebab tak ada yang dapat menjauhkan aku daripadanya, selain Engkau."

Anas berkata: "Pada suatu hari, ketika kami berada bersama Rasulullah saw. beliau bersabda:

"Inna khusnal khuluqi layudziibal khaathi-ata kamaa tudziibus-syamsul jaliida."

Artinya: "Sungguh, akhlaq yang baik dapat mencairkan suatu perbuatan dosa, sebagaimana panas matahari dapat mencairkan salju."

Sabda Rasulullah saw. pula:

"Min sa'aadatil mar'i khusnul khuluqi."

Artinya: Di antara kebahagiaan seseorang adalah kebaikan akhlaqnya."

Sabda beliau pula:

"Alyumnu khusnul khuluqi."

Artinya: "Keberuntungan seseorang adalah dalam kebaikan akhlaqnya."

Beliau juga pernah bersabda kepada Abu Dzaarr:

"Ya abaadzarrin la aqla kattadbiiri walaa khasaba kakhusnil khuluqi."
Artinya: "Wahai Abu Dzaarr, tiada (pemikiran) akal sebaik tadbir (pengelolaan sesuatu dengan bijaksana), dan tiada kehormatan seseorang setinggi akhlaq yang baik."

Anas merawikan bahwa Ummu Habibah pernah bertanya kepada Rasulullah saw.: Bagaimana kiranya seorang wanita yang mempunyai dua orang suami di dunia (yakni dalam dua kali perkawinan), lalu dia dan kedua suami itu meninggal dunia dan masuk surga. Siapakah di antara kedua-duanya yang akan menjadi suaminya di sana?" Maka Nabi saw. menjawab:

"Li akhsanihaa khuluqn kaana 'indahaa fiddun-yaa yaa umma khabiibata dzahaba khusnul khuluqi bikhairiddun-yaa wal aakhirati."

Artinya: "Yang terbaik akhlaqnya bagi si istri, ketika masih di dunia. Wahai ummu Habibah,akhlak yang baik, senantiasa bersama-sama dengan kebaikan dunia dan akhirat."

Sabda beliau pula:

"Innal muslimal musaddada liyudriku darajatash shaa-imil qaaimi bikhusni khuluqihi wa karami martabatihi."

Artinya: "Seorang muslim yang lurus akan mencapai derajat seorang yang berpuasa di siang hari dan bershalat di malam hari, sebagai ganjaran bagi akhlaq baiknya dan martabatnya yang mulia."

Abdurrahman bin Samurah berkata: "Kami sedang bersama Rasulullah saw. ketika beliau bersabda:

"Innii ra-aitul baarikhata 'ajaaban ra-aitu rajulan min ummatii jaatsiyan 'alaa rukbataihi wa baynuhu wa baynallaahi khijaabun fajaa-a khusnu khuluqihi fa adkhalahu 'alallaahi ta'aalaa."

Artinya: "Tadi malam aku melihat sesuatu yang aneh (dalam mimpi). Aku melihat seorang laki-laki dari umatku, sedang berlutut; antara dia dan Allah SWT terbentang tirai penutup (hijab). Lalu datanglah akhlaqnya yang baik dan memasukkannya ke hadapan Allah SWT."

Anas meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

"Innal 'abda layablughu bikhusni khuluqihi 'adhiima darajatil aakhirati wa syarafal manaazili wa innahu ladla'iifun fil 'ibaadati."

Artinya: "Dengan akhlaqnya yang baik, seorang hamba dapat mencapai derajat-derajat akhirat yang amat tinggi, serta kedudukan-kedudukan yang amat mulia, walaupun ia lemah dalam segi ibadahnya."

Di riwayatkan bahwa Umar r.a. pernah meminta izin untuk menemui Nabi saw. Ketika itu, ada beberapa wanita dari kalangan Quraisy yang sedang berbicara dengan beliau; suara mereka terdengar lebih keras dari suara Nabi saw. Tiba-tiba, ketika mengetahui bahwa Umar meminta izin untuk masuk, mereka bergegas menyembunyikan diri mereka di balik hijab.

Dan masuklah Umar sementara Rasulullah saw. tertawa. Umar pun bertanya: "Demi ayah dan ibuku mengapa Anda tertawa, ya Rasulullah?" Jawab beliau:

"Ajibtu liha-ulaa-illaatii kunna 'indii lammaa sami'na shautaka tabaadarnal khijaaba."

Artinya: "Sungguh aku merasa heran melihat tingkah laku wanita-wanita yang baru saja bersamaku; ketika mendengar suaramu, mereka segera bersembunyi di balik hijab."

Mendengar itu, Umar berkata: "Sungguh engkaulah, ya Rasulullah yang lebih patut mereka takuti daripada aku." Kemudian ia menoleh ke arah wanita itu, seraya berkata: "Ya, karena Anda begitu keras dan begitu kasar, tidak seperti Rasulullah saw.!"

Maka beliaupun bersabda:

"Iihan yabnal khaththaabi walladzii nafsii biyadihi maa laqiyakasy-syaithaanu qaththu saalikan fajjan illaa salaka fajjan ghaira fajjika."

Artinya: "Hah, wahai Ibnu Khaththab, demi Tuhan Yang jiwaku berada di tangan-Nya, tak sekalipun setan berjumpa denganmu di suatu lembah, kecuali ia akan menghindar dan melintasi lembah lainnya."

Sabda Rasulullah saw:

"Suu-ul khuluqi dzanbun laa yughfaru wa suu-udzdzanni khathii-atuntafuukhu."

Artinya: "Akhlaq yang buruk adalah dosa yang tak terampuni, sedangkan persangkaan buruk (su-udzdzan) adalah kesalahan yang berbau busuk."

Sabda beliau pula:

"Innal 'abda layablughu min suu-i khuluqihi asfala darki jahannama."

Artinya: "Seseorang dapat terjatuh ke dalam dasar Jahannam yang terdalam, dengan akhlaqnya yang buruk."

( Sumber artikel: Tahdzib Al-Akhlaq wa Mu'alajat Amradh Al-qulub)

Hakikat Akhlaq Yang Baik Dan Yang Buruk




Banyak orang telah mencoba berbicara tentang apa hakikatnya akhlaq yang baik itu?! Namun sebenarnya mereka belum sampai kepada hakikatnya. Mereka hanya berbicara tentang buahnya. Itupun belum mencakup semua buahnya. Sebab, setiap orang dari mereka hanya menyebutkan tentang salah satu di antara buah-buahnya. Yaitu yang terlintas dalam pikirannya, atau kebetulan hadir dalam ingatannya. Mereka tidak berupaya sungguh-sungguh untuk menyebutkan batasannya, serta hakikatnya yang meliputi semua buahnya, secara rinci dan menyeluruh.

Misalnya, seperti di nyatakan oleh Al-Hasan: "Akhlaq yang baik adalah  menghadapi manusia dengan wajah cerah, memberi bantuan setiap kali diperlukan, serta menjaga diri sendiri dari pada mengganggu orang lain."
 
Menurut Al-Washithiy: "Akhlaq yang baik, adalah keadaan seseorang yang tidak mau berkata ataupun di ajak bertengkar oleh siapapun, di sebabkan ma'rifat-nya yang mendalam berkaitan dengan Allah SWT."

Syah Al-Karmaniy berkata: "Akhlaq yang baik adalah mencegah diri sendiri daripada mengganggu orang lain, serta bersabar dalam melaksanakan kewajiban, betapapun beratnya."

Sebagian orang berkata: "Seseorang dapat di sebut sebagai berakhlaq baik apabila ia berada dengan manusia namun ia sendiri bagaikan seorang asing di antara meraka."

Al-Washithy juga pernah berkata: "Berakhlaq baik adalah dengan membuat orang lain merasa puas, baik di kala sedang kesusahan maupun kesenangan."

Menurut Abu Utsman: "Berakhlaq baik adalah senantiasa merasa ridla (puas dan pasrah sepenuhnya) kepada Allah SWT."

Sahl At-tusturiy pernah di tanya tentang akhlaq yang baik, lalu ia menjawab: "Sedikitnya, seorang yang berakhlaq baik akan selalu tabah menghadapi kesulitan, tidak mengharapkan balasan atas apa yang di lakukannya, mengasihani orang yang melakukan kedzaliman terhadapnya, dan memohonkan ampunan baginya serta mengasihinnya."

Di lain kesempatan, ia juga menyatakan bahwa seorang yang baik akhlaqnya tidak sekali-kali akan meragukan Allah SWT mengenai rizqi yang Ia berikan kepadanya. Bahkan ia percaya sepenuhnya kepada Allah SWT, dan senantiasa memenuhi kewajibannya berkenaan dengan rizqi yang telah di jaminkan Allah baginya. Kemudian ia akan selalu taat kepada-Nya dan takkan membangkang terhadap-Nya mengenai apa saja yang berkaitan antara ia dan Allah SWT, dan antar dia dan orang-orang sekitarnya.

Ali r.a. pernah berkata: "Akhlaq yang baik terkandung dalam tiga hal: menjahui segala yang di haramkan, mencari yang halal dan menyenangkan anggota keluarga."

Husein bin Manshur berkata: "Akhlaq yang baik ialah apabila engkau takkan terpengaruh oleh ketidak ramahan manusia kepadamu, setelah engkau berhasil mendekat ke arah Dia Yang Maha benar."

Abu Sa'id Al-Kharraz pernah berkata: "Akhlaq yang baik ialah apabila engkau tak lagi mempedulikan sesuatu kecuali Allah SWT."

Contoh-contoh seperti itu amat banyak. Namun semua itu hanya ungkapan tentang 'buah-buah akhlaq yang baik', dan bukannya tentang hakikat atau 'esensi akhlaq baik' itu sendiri. Di samping itu, ia tidak pula meliputi semua buahnya. Karenanya, upaya penyikapan tentang hakikat itu lebih utama daripada penyajian ucapan-ucapan manusia yang bermacam-macam.


( Sumber Rujukan: Tahdzib Al-Akhlaq wa Mu'alajat Amradh Al-qulub, karya Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali )

Ucapan Ulama' Terdahulu Tentang Akhlaq





Telah berkata putra Lukman kepada ayahnya: "Ayah, hal apa yang paling baik untuk manusia? "Agama" jawab Lukman. "Kalau dua?" tanya sang anak lagi. "Agama dan harta." "Kalau tiga? "Agama, harta dan rasa malu." "Kalau empat? "Agama, harta, rasa malu dan akhlaq yang baik." "Kalau lima?" "Agama, harta, rasa malu, akhlaq yang baik dan kedermawanan." "Kalau enam?" "Wahai anakku," jawab Lukman. "Jika kelima hal tersebut terhimpun dalam diri seseorang, maka ia adalah seorang yang berhati suci, bertaqwa, kekasih Allah dan terjauhkan dari syetan."

Al-Hasan pernah berkata: "Barang siapa rusak akhlaqnya, sungguh ia telah menganiaya dirinya sendiri." Anas bin Malik berkata: "Seorang hamba dengan akhlaqnya yang baik dapat mencapai derajat yang tinggi di syurga, sedangkan ia bukanlah seorang ahli ibadah. Dan dengan akhlaqnya yang buruk dapat terhempas ke dasar paling bawah neraka Jahannam, sedangkan ia seorang ahli ibadah."

Dan telah berkata Yahya bin Mu'adz: "Dalam kelapangan akhlaq tersimpan harta karun rizqi."

Dan telah berkata Wahb bin Munabbih: "Perumpamaan seorang yang berakhlaq buruk, seperti tembikar yang pecah, tidak dapat di tambal dan tidak pula dapat di kembalikan menjadi tanah lagi."

Dan telah berkat Al-Fudhail: "Sekiranya aku di temani seorang pendosa yang baik akhlaqnya, lebih ku senangi daripada aku di temani seorang ahli ibadah yang buruk akhlaqnya."

Ibn Al-Mubarak pernah mendapat seorang teman seperjalanan yang buruk akhlaqnya. Namun ia tetap bersabar dan senantiasa berusaha mengikuti kemauan temannya itu. Dan ketika akhirnya mereka berpisah, Ibn Al-Mubarak menangis. Seseorang menanyakan hal itu kepadanya, dan diapun berkata: "Aku menangisi orang itu. Kini aku telah berpisah darinya, sedangkan akhlaqnya yang buruk masih bersamanya, tidak berpisah darinya."

Dan telah berkata Al-Junaid: "Empat hal yang mengangkat seseorang ke derajat tertinggi, meski amalan dan ilmunya hanya sedikit saja: kesantunan, tawadlu (kerendah hatian), kedermawanan dan kebaikan akhlaq. Itulah pula kesempurnaan Iman."

Dan telah berkata Al-Kinani: "Tasawwuf adalah akhlaq. Siapa saja yang mengunggulimu dalam akhlaq, maka dia mengunggulimu dalam tasawwuf."

Umar bin Khaththab, r.a. pernah berkata: "Pergaulilah manusia dengan akhlaq, dan bersainglah dengan mereka dalam amalan."

Yahya bin Mu'adz berkata: "Akhlaq yang buruk adalah kejahatan yang mengakibatkan tak bergunanya perbuatan baik walaupun banyak jumlahnya. Sedangkan akhlaq yang baik adalah kebajikan yang mengakibatkan tidak berpengaruhnya perbuatan buruk walaupun banyak jumlahnya."

Abdullah bin Abbas pernah di tanya: "Apa kemuliaan itu?" Maka ia menjawab: "Kemuliaan adalah sebagaimana di jelaskan oleh Allah dalam kitab-Nya yang agung: "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah yang paling bertaqwa di antara kamu. '(Al-Hujurat: 13)." Kemudian ia di tanya lagi: "Apa ketinggian derajat seseorang?" Jawabnya: "Yang paling baik akhlaqnya di antara kamu adalah yang paling tinggi derajatnya.

Ibn Abbas juga pernah berkata: "Setiap bangunan memiliki pondasi, dan pondasi Islam adalah akhlaq yang baik."

Dan telah berkata 'Atha': "Tak seorangpun meningkat martabatnya kecuali dengan akhlaq yang baik."

Dan tak seorangpun meraih kesempurnaan akhlaq selain Rasulullah, Al-Musthafa saw. Oleh karena itu , manusia-manusia yang paling dekat kepada beliau adalah mereka yang mengikuti jejaknya dengan akhlaq yang mulia.


(Sumber Rujukan:  Tahdzib Al-Akhlaq wa Mu'alajat Amradh Al-qulub)

Hal-Hal Yang Menodai Tauhid



 Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin


Termasuk perbuatan dosa besar yang menodai tauhid seseorang adalah merasa aman dari siksa dan adzab Allah subhanahu wa ta'ala dan berputus asa dari rahmat-Nya. Haramnya merasa aman dari siksa/makar Allah berdasarkan firman-Nya,



أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللهِ فَلاَيَأْمَنُ مَكْرَ اللهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ {99


“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga) Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”. (QS. Al-A’raf:99)
 
Ayat ini memberikan beberapa faidah di antaranya:

1.Waspada terhadap nikmat Allah yang diberikan oleh Allah kepada seseorang, supaya hal itu tidak menjadi istidraj (tipuan, maksudnya ditambahkan kepadanya nikmat oleh Allah tetapi agar orang tersebut semakin jauh dari Allah). Karena setiap nikmat yang diberikan oleh Allah maka ada kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu syukur atas terhadap nikmat tersebut. Syukur dengan cara beribadah dan mentaati Dzat yang memberi nikmat (Allah). Apabila tidak bersyukur atas banyaknya nikmat yang diterima maka ketahuilah bahwasanya itu adalah bentuk makar/tipu daya dari Allah subhanahu wa ta’ala.


2.Haramnya merasa aman dari makar/siksa Allah, hal ini karena dua hal, pertama: Kalimat dalam ayat ini berbentuk kalimat tanya yang menunjukkan makna pengingkaran dan ta’ajub/keheranan. Kedua: Firman Allah, “Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”


Adapun dalil tentang haramnya berputus asa dari rahmat Allah subhanahu wa ta'ala adalah firman-Nya,


وَمَن يَقْنَطُ مِن رَّحْمَةِ رَبِّهِ إِلاَّ الضَّالُّونَ {56


"Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat". (QS.al-hijr :56)


Adapun makna ayat adalah, ketika Nabi Ibrahim diberi kabar gembira oleh malaikat akan lahirnya seorang anak yang pandai dari keturunan beliau, beliau berkata kepada para Malaikat,
  
قَالَ أَبَشَّرْتُمُونِي عَلَى أَن مَّسَّنِيَ الْكِبَرُ فَبِمَ تُبَشِّرُونَ {54
قَالُوا بَشَّرْنَاكَ بِالْحَقِّ فَلاَ تَكُن مِّنَ الْقَانِطِينَ {55
 قَالَ وَمَن يَقْنَطُ مِن رَّحْمَةِ رَبِّهِ إِلاَّ الضَّالُّونَ {56


“Berkata Ibrahim:"Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini" Mereka menjawab:"Kami menyampaikan berita gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa". Ibrahim berkata:"Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat". (QS. Al-Hijr :54-56)


Berputus asa dari rahmat Allah haram, tidak diperbolehkan dan termasuk dosa besar, karena hal itu adalah bentuk buruk sangka/su’u dzon terhadap Allah subhanahu wa ta'ala, hal itu dilihat dari dua sisi:


1.Hal tersebut adalah bentuk celaan terhadap Qudrah/kemampuan Allah, Karena barang siapa yang mengetahui bahwa Allah Mahamampu terhadap segala sesuatu, tidak akan menganggap mustahil segala di atas Qudrah Allah.


2.Hal tersebut bentuk celaan terhadap rahmat/kasih sayang Allah, karena barang siapa yang mengetahui bahwa Allah Maha penyayang maka tidak akan menganggap mustahil kalau Allah akan merahmatinya. Oleh sebab itu orang yang putus asa dari rahmat Allah adalah orang yang sesat.


Maka tidak sepantsnya apabila seseorang berada dalam kesusahan dan kesulitan untuk menganggap mustahil datangnya apa-apa yang diinginkan dan hilangnya kesusahan. Betapa banyak manusia yang berada dalam kesulitan dan dia mengira bahwa dia tidak akan selamat darinya, ternyata Allah menyelamatkannya, bisa jadi karena amalannya yang terdahulu, sebagaimana yang terjadi pada Yunus 'alaihissalam sebagaimana firman Allah Ta'ala,


فَلَوْلآ أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ {143
 لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ 144


“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah,niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit. (QS.Ash-Shaaffaat:143-144)


Atau bisa jadi karena amalannya yang akan datang/datang belakangan, sebagaimana do’a Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada perang Badr, malam perang Ahzab, dan juga sebagaimana doa Ashabul Kahfi.


Dan juga haramnya merasa aman dari makar Allah dan berputus asa dari rahmat Allah berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang dosa-dosa besar, beliau menjawab,“Menyekutukan Allah (syirik), putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari makar/siksa Allah”(HR.al-Bazzar, Ibnu Abi Hatim dalam tafsir Ibnu Katsir, Thabrani)


Dan juga Ibnu Mas’ud berkata,”Sebesar-besar dosa besar adalah:” “Menyekutukan Allah (syirik), merasa aman dari makar/siksa Allah, putus asa putus asa dari rahmat Allah dan dari pertolongan-Nya”(HRAbdur Razzaq, Ibnu Jarir, ath-Thabrani)


(Sumber: al-Qulul Mufid (edisi Arab), Kitab tauhid (edisi Indonesia) Pustaka al-Sofwa, Abu Yusuf Sujono)

Keutamaan Shalat Dhuha




Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, "Bahwa RasulullahSAW berwasiat kepadaku untuk berpuasa tiga hari setiap bulan, melaksanakan shalat dhuha dua raka'at dan shalat witir sebelum aku tidur." (HR. Bukhari dan Muslim). Keutamaan-keutamaan shalat dhuha adalah banyak sekali, kami akan menyebutkan beberapa di antaranya:

1- Dengan shalat dhuha, Allah akan menghapus dosa-dosa. Di riwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah bersabda, "Barangsiapa menjaga dua raka'at shalat dhuha maka dosa-dosanya akan di ampuni walaupun sebanyak buih di laut."
 
Di riwayatkan oleh Abu Ya'la bahwa Nabi SAW bersabda, barangsiapa ketika matahari menyambutnya, ia wudhu' dan menyempurnakan wudhu'nya lalu ia berdiri untuk melaksanakan shalat dua raka'at maka akan di ampuni dosa-dosanya sebagaimana ketika dia di lahirkan oleh ibunya."


2- Orang yang melakukan shalat dhuha adalah termasuk golongan orang-orang yang bertaubat, sebagaimana yang di riwayatkan oleh Ath Thabrani dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah bersabda, "Tidaklah seseorang melakukan shalat dhuha kecuali seorang yang bertaubat." Dalam riwayat lain di sebutkan, "Shalat dhuha adalah shalatnya orang-orang yang bertaubat. " Di riwayatkan oleh Al Hakim dengan syarat Muslim.


3- Orang yang melakukan shalat dhuha akan mendapatkan pahalanya umrah. Di riwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Umamah RA, bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan suci untuk melaksanakan shalat wajib maka pahalanya adalah seperti pahala haji, dan barangsiapa yang melakukan shalat dhuha maka pahalanya adalah seperti pahala umrah dan malaksanakan shalat setelah shalat tanpa ada kesia-siaan antara keduanya maka ia akan mendapat tempat yang tinggi.


4- Orang yang melakukan shalat dhuha maka ia termasuk dalam golongan orang-orang yang ahli ibadah. Di riwayatkan oleh Ath Thabrani dari Abu Darda', ia berkata: Bahwa Nabi SAW bersabda: Barangsiapa yang melaksanakan shalat dhuha dua raka'at maka ia tidak termasuk golongan orang-orang yang lalai, barangsiapa yang melaksanakannya empat raka'at maka ia akan tercatat sebagai orang yang ahli ibadah, barangsiapa yang melaksanakannya enam raka'at maka akan di cukupkan baginya hari itu, dan barangsiapa yang melaksanakannya dua belas raka'at maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga, tidak ada siang dan malam kecuali Allah memiliki pemberian yang lebih baik yang Allah berikan kepadanya kecuali Allah memberi ilham kepada hamba-Nya untuk berdzikir kepada-Nya."


5- Orang yang melakukan shalat dhuha maka ia akan masuk surga melalui pintu dhuha. Di riwayatkan oleh Ath Thabrani , bahwa Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya di dalam surga terdapat pintu yang bernama pintu dhuha, jika tiba hari kiamat maka berserulah seorang penyeru, "Manakah mereka yang terus menerus melakukan shalat dhuha? Inilah pintu kalian maka masukilah surga dengan rahmat Allah Ta'ala."


6- Orang yang melakukan shalat dhuha maka Allah akan mencukupi kebutuhannya pada hari itu dan ia termasuk salah seorang yang mendapatkan jaminan Allah. Di riwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abu Darda' dan Abu Dzarr RA bahwa Rasulullah SAW bersabda dari Allah bahwa Allah berfirman, "Wahai anak Adam shalatlah untukku empat raka'at pada permulaan siang maka Aku akan mencukupi pada penghabisannya."


7- Orang yang melakukan shalat dhuha maka dengan shalatnya itu berarti ia telah menyempurnakan shadaqah terhadap semua anggota tubuhnya, karena jika seorang hamba berada pada pagi hari maka di haruskan baginya bershadaqah untuk semua anggota tubuhnya, dan bahwa sesungguhnya shalat dhuha dapat menyempurnakan seluruhnya. 

Di riwayatkan oleh Muslim dari Abuu Dzarr RA, bahwa Nabi SAW bersabda: "Setiap persendian anggota tubuh di antara kalian harus di shadaqahi, dan setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takhmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, mengajak pada kebaikan adalah shadaqah, mencegah kemungkaran adalah shadaqah dan yang akan membagikan seluruh shadaqah itu adalah shalat dhuhanya yang dua raka'at."


Di riwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Nabi SAW bersabda, "Dalam diri manusia terdapat tiga ratus enam puluh sendi dan baginya hendaknya bershhadaqah kepada setiap sendinya dengan satu shadaqah." Para sahabat bertanya, "Siapa yang sanggup melakukan hal itu wahai Rasulullah?" beliau bersabda, "Duduk di dalam masjid maka akan menutupinya dan sesuatu yang engkau jauhkan dari jalanan dan jika kalian tak sanggup maka shalat dhuha akan mencukupi itu semua darimu."


Shalat dhuha yang paling sedikit adalah dua raka'at hingga delapan raka'at.

Arti Kata Khuluq atau Akhlaq




Kata khuluq berarti suatu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.

Maka apabila dari perangai tersebut timbul perbuatan-perbuatan yang baik dan yang terpuji menurut akal sehat dan syariat, dapatlah ia disebut sbagai perangai atau khuluq yang baik. Dan sebaliknya, apabila yang timbul darinya adalah perbuatan-perbuatan yang buruk, maka ia disebut sebagai khuluq yang buruk pula.

Kami menyebutnya sebagai perangai atau watak yang menetap kuat dalam jiwa, karena seseorang yang jarang atau hanya sesekali saja menyumbangkan hartanya untuk keperluan tertentu, tidak dapat disebut sebagai seorang yang berwatak dermawan. Yaitu sepanjang hal itu tidak merupakan sesuatu yang menetap kuat dalam jiwanya.

Karena itu kami mempersyaratkan bahwa ia harus merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu secara mudah dan ringan, tanpa harus dipikirkan atau direncanakan sebelumnya. Sebab, barangsiapa – ketika menyumbangkan hartanya - atau – ketika menahan amarah hatinya – melakukan semua itu dengan berat hati atau dengan susah payah, maka tidaklah dapat dikatakan bahwa orang itu berwatak dermawan atau pema’af.

Oleh sebab itu, haruslah dipenuhi 4 persyaratan;
1. Adanya perbuatan yang baik dan yang buruk.
2. Adanya kemampuan untuk melakukan kedua-duanya.
3. Penjgetahuan seseorang tentang kedua-duanya.
4. Adanya sesuatu dalam jiwa, yang membuatnya cenderung kepada salah satu dari kedua-duanya, serta dengan mudah dapat dikerjakan: yang baik atau yang buruk.

Jelas bahwa suatu khuluq (perangai, watak, tabiat) tidaklah identik dengan perbuatan. Sebab, adakalanya seseorang berwatak dermawan namun ia tidak menyumbangkan sesuatu. Baik karena ia tidak memiliki sesuatu ataupun karena adanya hambatan lainnya. Sebaliknya, adakalanya ia berwatak kikir namun ia menyumbang, baik karena terdorong oleh sesuatu kepentingan dirinya ataupun karena ingin di puji.

Ia tidak juga identik dengan kemampuan (atau kuasa diri). Sebab, kaitan kemampuan seseorang dalam hal memberi atau tidak memberi, adalah sama saja. Setiap orang - secara naluriah – memiliki kemampuan atau kuasa untuk memberi ataupun tidak. Dan hal itu tidak mengharuskan adanya watak kekikiran ataupun kedermawanan dalam dirinya.

Ia juga tidak identik dengan pengetahuan tentang sesuatu. Sebab, pengetahuan berkaitan dengan yang baik maupun yang buruk. Kedua-duanya sama saja. Yang benar adalah bahwa apa yang disebut perangai atau watak (khuluq) ialah sesuatu yang dengannya jiwa manusia memiliki kesiapan bagi timbulnya kedermawanan ataupun kekikiran. Dengan kata lain, ia adalah bentuk atau rupa bathiniah dari jiwa seseorang.

Bersambung ---------->

(Sumber rujukan: Tahdzib Al-Akhlaq Wa Mu'alajat Amradh Al-qulub).

Arti Kata Khuluq atau Akhlaq Bagian Kedua






Dan sudah barang tentu keindahan bentuk lahiriah tak mungkin terwujud dengan keindahan bentuk kedua mata saja, misalnya, tanpa keindahan bentuk hidung, mulut dan pipi. Tetapi hanya dengan keindahan semua itu, secara keseluruhan, akan terwujud keindahan lahiriah seseorang secara sempurna.

Demikian pula yang berkaitan dengan bathin seseorang. Diperlukan adanya empat hal potensial yang kesemuanya harus dalam keadaan baik, sehingga dengannya akhlak baik seseorang dapat menjadi sempurna.

Keempat hal potensial ini adalah: kemampuan dasar atau kekuatan pengetahuan, kekuatan emosi (ghadhab), kekuatan ambisi (syahwat) dan kekuatan yang menyeimbangkan antara ketiga potensi tersebut.

Maka apabila keempat hal potensial ini ada pada disi seseorang, secara seimbang dan serasi, dapatlah ia dikatakan bahwa ia memiliki akhlak atau perangai yang baik.

Dengan demikian, kemampuan atau kekuatan pengetahuan akan menjadi baik dan sempurna bagi seseorang, apabila hal itu mampu memudahkan baginya untuk membedakan antara ketulusan dan kebohongan dalam hal ucapan, antara yang haq dan yang batil dalam hal kepercayaan (i’tiqad) dan antara yang baik dan yang buruk dalam hal perbuatan.

Maka jika kekuatan ini dalam keadaan sempurna, niscaya akan membuahkan hikmah (kearifan). Sebab, hikmah adalah puncak dari akhlak yang baik. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:

“Wa man yu’ tal khikmata faqad uutiya khairan katsiiran.”

Artinya: “...Dan barangsiapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberikan kebaikan yang amat banyak.” (Al-Baqarah: 269).

Adapun kekuatan emosi (ghadhab) maka ia menjadi baik apabila tetap berada didalam batas yang dibenarkan oleh hikmah, baik dalam keadaan emosi itu sedang memuncak ataupun mereda.

Demikian pula kekuatan ambisi (syahwat); ia menjadi baik dan berguna, selama ia berada dibawah pengarahan hikmah. Atau dengan kata lain, di bawah pengarahan akal dan syari’at.

Sedangkan yang dimaksud dengan kekuatan keseimbangan adalah dikendalikannya ambisi dan emosi oleh akal dan syariat. Akal dapat diumpamakan sebagai seorang pemberi nasehat dan arahan.

Sedangkan kekuatan keseimbangan adalah sesuatu yang mampu bertindak dan yang melaksanakan apa yang diarahkan atau diperintahkan oleh akal. Adapun emosi adalah obyek yang kepadanya perintah tersebut ditujukan.

Ia dapat diumpamakan sebagai anjing berburu, yang perlu dilatih sedemikian rupa, sehingga melakukan pengejaran atau berhenti sesuai dengan yang diperintahkan, dan bukannya sesuai dengan keinginan hawa nafsunya sendiri.

Sedangkan kekuatan ambisi dapat diumpamakan sebagai seekor kuda yang ditunggangi dalam suatu perburuan; adakalanya ia telah terlatih baik dan jinak, dan adakalanya ia bersifat liar dan tak terkendali.

Barangsiapa memiliki semua sifat ini dalam keadaan sedang, moderat, dan seimbang, maka ia – tak diragukan lagi – adalah seorang yang berakhlak sempurna.

Dan barangsiapa memiliki sebagiannya saja – bukan semuanya – dalam keadaan sedang dan seimbang, maka ia dapat dianggap berakhlak baik dalam kaitannya dengan sifat tersebut secara khusus. Sama halnya seperti seseorang yang memiliki keindahan pada bagian – bagian tertentu saja dari wajahnya, bukan pada wajahnya secara keseluruhan.

Adakalanya kebaikan dan sifat ‘sedang’ dan moderat dalam kekuatan emosianal (kemarahan atau ghadhabiyah) disebut “keberanian”, sedangkan kebaikan dalam kekuatan ambisi (hawa nafsu, syahwat) disebut ‘iffah (penahan nafsu dari perbuatan tercela).

Dan manakala kekuatan emosianal dari sifat moderatnya dan lebih cenderung kearah yang ekstrem atau berlebihan, hal itu disebut “kenekatan”. Sebaliknya, jika ia lebih cenderung ke arah kekurangan, maka hal itu disebut “kepengecutan”.

Dan jika kekuatan ambisi (syahwat, hasrat) lebih cenderung ke arah berlebihan, maka hal itu disebut “kerakusan”, sedangkan jika ia lebih cenderung ke arah kekurangan, maka hal itu disebut ”kebekuan” atau “ke-jumud-an”.

Adapun yang paling dipujikan adalah keadaan “tengah-tengah”, dan itulah yang disebut fadhilah (kebajikan). Sedangkan kedua ujung yang ekstrem adalah keburukan yang tercela.

Dan jika sifat keseimbangan (ke-adil-an) telah hilang, maka tak ada lagi ujung yang berlebihan ataupun yang berkekurangan. Yang ada hanyalah sifat yang sama sekali berlawanan dengannya, yaitu kedzaliman.

Adapun jika sifat hikmah digunakan secara gegabah dan berlebihan dalam tujuan-tujuan yang buruk, hal itu disebut perbuatan dosa dan kejahatan, sedangkan jika digunakan secara berkurangan, maka hal itu disebut kedunguan. Dan pada hakekatnya, posisi yang tengah-tengah itulah yang layak dan khusus disebut hikmah.



(Sumber Rujukan: Tahdzib Al-Akhlaq Wa Mu'alajat Amradh Al-qulub).

Pokok-pokok Akhlak dan Maknanya




Dari uraian diatas, jelaslah bahwa pokok-pokok atau dasar-dasar akhlak ada empat: kearifan (hikmah), keberanian, penahanan nafsu (‘iffah) dan keadilan atau keseimbangan (dalam ketiga pokok tersebut).

Yang dimaksud dengan hikmah, adalah keadaan jiwa seseorang yang dengannya ia dapat membedakan antara yang benar dan yang salah dalam setiap perbuatan.

Adapun yang dimaksud dengan keadilan atau keseimbangan, adalah keadaan jiwa seseorang yang mampu membatasi gerak kedua kekuatan: emosi dan ambisi, serta mengendalikannya dalam keaktifan dan ketidak aktifannya, agar sejalan dengan nilai-nilai hikmah.

Sedangkan yang dimaksud dengan keberanian, adalah dipatuhinya akal oleh kekuatan emosi (amarah, ghadhab), baik dalam tindakannya atau keengganannya untuk bertindak.

Dan yang dimaksud dengan penahanan hawa nafsu (‘iffah) adalah terdidiknya kekuatan ambisi (syahwat, hasrat) oleh didikan akal dan syariat.

Dari sikap moderat dan keseimbangan pokok-pokok inilah timbul semua unsur akhlak yang baik.